TEMA 2: PENGARUH PERTUMBUHAN PENDUDUK TERHADAP PERKEMBANGAN SOSIAL
Pertumbuhan penduduk Indonesia yang semakin hari
menunjukkan,perkembangan yang pesat telah melahirkan berbagai macam
persoalan di Negara ini. Perkembangan penduduk di Indonesia menyebabkan
banyaknya konflik, dimana inti dari permasalahan itu adalah kuantitas
yang terus bertambah yang tidak diikuti oleh sumber daya manusia yang
mendukung. Hal ini menyangkut aspek ekonomi politik sosial bahkan
budaya. Dari segi aspek sosial, menurut persepsi saya, setelah mendengar
dan menyaksikan dari berita, browsing di internet, dan membaca dari
surat kabar atau Koran harian, ternyata aspek sosia lah yang paling
besar mendapatkan dampak dengan pertumbuhan penduduk Indonesia yang
semakin meledak. Hal ini di sebabkan oleh pesatnya pertumbuhan penduduk
tanpa di ikuti dengan kualitas dan kuntitas yang di miliki oleh sumber
daya manusia. Berikut sebuah pernyataan yang saya baca dari Koran harian
seputar Indonesia tentang masalah KB, “dengan klinik kesejahteraan
keluarga, pelayanan yang diberikan bukan hanya pelayanan kontrasepsi
melainkan juga konsultasi menyangkut seluruh masalah dasar ibu, anak,
gizi, dan terutama tentang pentingnya program KB dan dampak ledakan
penduduk”. Dari kutipan tersebut kita dapat melihat betapa sesungguhnya
dampak dari pertumbuhan penduduk yang semakin luar biasa akan
menimbulkan banyak sekali konflik dalam ranah kehidupan sosial, seperti
kendala yang dihadapi oleh badan kesejahteraan keluarga berencana
(BKKBN) tersebut. Bukan hanya itu saja pengaruh pertumbuhan penduduk
terhadap perkembangan sosial juga menyebabkan terjadinya migrasi
penduduk. Migrasi adalah perpindahan penduduk dari suatu tempat ke
tempat lain dengan melewati batas negara atau batas administrasi dengan
tujuan untuk menetap.
1. Piramida Penduduk Komposisi
penduduk menurut umur dan jenis kelamin dapat ditampilkan dalam bentuk grafik yang disebut piramida penduduk.
a. Bentuk-bentuk Piramida Penduduk Bentuk piramida penduduk dibadakan menjadi tiga macam yaitu :
1. Bentuk Limas (Expansive) atau disebut piramida penduduk muda,
menunjukkan jumlah penduduk usia muda lebih banyak dari pada usia dewasa
maupun tua, sehingga pertumbuhan penduduk sangat tinggi, contohnya:
Indonesia, Filipina, Mesir, Nigeria, Brazil.
2. Bentuk Granat (Stationer) atau disebut piramida penduduk
stasioner, menunjukkan jumlah usia muda hampir sama dengan usia dewasa,
sehingga pertumbuhan penduduk kecil sekali, contohnya: Amerika Serikat,
Belanda, Norwegia, Finlandia.
3. Bentuk Batu Nisan (Constructive) atau piramida penduduk tua,
menunjukkan jumlah penduduk usia tua lebih besar dari pada usia muda,
jumlah penduduk mengalami penurunan, contohnya: negara-negara yang baru
dilanda perang. Negara-negara berkembang pada umumnya memiliki piramida
penduduk berbentuk limas, sedangkan negara-negara maju umumnya berbentuk
granat atau batu nisan.
1. Piramida Penduduk
Komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin dapat ditampilkan
dalam bentuk grafik yang disebut piramida penduduk. Ciri-ciri struktur
penduduk pada tiap bentuk piramida :
1. Piramida Penduduk Expansif memiliki ciri-ciri :
• Sebagian besar berada pada kelompok penduduk muda,
• Kelompok usia tua jumlahnya sedikit,
• Tingkat kelahiran bayi tinggi,
• Pertumbuhan penduduk tinggi.
2. Piramida Penduduk Stasioner memiliki ciri-ciri :
• Penduduk pada tiap kelompok umur hampir sama,
• Tingkat kelahiran rendah,
• Tingkat kematian rendah,
• Pertumbuhan penduduk mendekati nol atau lambat.
3. Piramida Penduduk Constructive memiliki ciri-ciri :
• Sebagian besar penduduk berada kelompok usia dewasa atau tua
• Jumlah penduduk usia muda sangat sedikit
• Tingkat kelahiran lebih rendah dibanding dengan tingkat kematian
• Pertumbuhan penduduk terus berkurang
Sumber: http://www.e-dukasi.net/mapok/mp_full.php?id=188&fname=materi2b.html http://www.datastatistik-indonesia.com/
HUBUNGAN ANTARA MASALAH PENDUDUK DENGAN PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN
Perkembangan sosial di Indonesia dimulai dengan reformasi yang
membawa perubahan terhadap tantanan kehidupan. Reformasi merupakan suatu
proses perbaikan dengan melakukan koreksi terhadap unsure-unsur yang
rusak, dengan tetap mempertahankan elemen budaya dasar yang masih
fungsional, tanpa merubah bentuk masyarakat dan budaya secara total dan
mendasar. Transformasi adalah perubahan yang sifatnya lebih cepat,
total, mendasar dan menyeluruh. Sedangkan deformasi merupakan kerusakan
pada keteraturan sosial tersebut. Perubahan yang cepat tersebut harus
mampu mempertahankan “cultural continuity”, dan disini suatu unsur yang
amat perlu dipertahankan adalah kesepakatan-kesepakatan nilai
(commonality of values) yang pernah dicapai selama lebih dari 60 tahun
silam. Akibat gejala sosiologis fundamental, maka terjadi
pergeseran-pergeseran yang diantaranya sebagai berikut:
1. Pergeseran Struktur Kekuasan: Otokrasi Menjadi Oligarki Kekuasaan
terpusat pada sekelompok kecil elit, sementara sebagian besar rakyat
(demos) tetap jauh dari sumber-sumber kekuasaan (wewenang, uang, hukum,
informasi dsb.). Krisis dlm representative democracy dan civil society.
2. Kebencian Sosial Yang Tersembunyi (Socio–Cultural Animosity). Pola
konflik di Indonesia ternyata bukan hanya terjadi antara pendukung
fanatik Orba dengan pendukung Reformasi, tetapi justru meluas antar
suku, agama, kelas sosial, kampung dsb. Sifatnyapun bukan vertical
antara kelas atas dan bawah tetapi justru lebih sering horizontal,
antara rakyat kecil, sehingga konflik yang terjadi bukan konflik yang
korektif tetapi destruktif (tidak fungsional tetapi disfungsional). Kita
menjadi “self destroying nation”.
• Konflik sosial yang terjadi di Indonesia bukan hanya konflik
terbuka (manifest conflict) tetapi lebih berbahaya lagi adalah “hidden
atau latent conflict” antara berbagai golongan.
• Cultural animosity adalah suatu kebencian budaya yang bersumber
dari perbedaan ciri budaya tetapi juga perbedaan nasib yang diberikan
oleh sejarah masa lalu, sehingga terkandung unsur keinginan balas
dendam. Konflik tersembunyi ini bersifat laten karena terdapat mekanisme
sosialisasi kebencian yang berlangsung dihampir seluruh pranata
sosialisasi (agent of socialization) di masyarakat (mulai dari keluarga,
sekolah, kampung, tempat ibadah, media massa, organisasi massa,
organisasi politik dsb
• Kita belum berhasil menciptakan kesepakatan budaya (civic culture)
• Persoalannya adalah proses integrasi bangsa kita yang kurang
mengembangkan kesepakatan nilai secara alamiah dan partisipatif
(integrasi normatif), tetapi lebih mengandalkan pendekatan kekuasaan
(integrasi koersif)
• Mempertimbangkan persoalan diatas, nampaknya suatu “socio-cultural
policy” dan “socio-cultural” planning – yang berdasarkan analisis
sosiologis-antropologis yang mendalam dan metode pemecahan masalah yang
dipelajari dari berbagai pengalaman bangsa yang lain – amat kita
perlukan. Kemiskinan dan ketidak adilan sering ”jatuh bersamaan” dengan
identitas sosial tertentu. Karena kebencian sosial yang tersembunyi,
maka timbul suatu budaya merebaknya pengangguran. Secara sosiologis,
penganggur adalah orang yang tidak memiliki status sosial yang jelas
(statusless), sehingga tidak memiliki standar pola perlaku yang pantas
atau tidak pantas dilakukan, cenderung mudah melepaskan diri dari
tanggungjawab sosial. Dalam kondisi yang ekstrim penganggur tidak peduli
terhadap keteraturan sosial, dan bahkan menginginkan terjadinya
“kekacauan sosial” (social disorder atau bahkan chaos) agar mendapat
keutungan dari ketidak-teraturan itu. Saat ini ada gumpalan massa
penganggur yang jumlahnya 9,5 juta (pada th 2003). Mereka banyak
dimanfaatkan oleh pelaku politik sebagai alat penekan dan pembenaran
aspirasi politik mereka, sehingga demonstrasi saat ini tidak selalu
merupakan ekspresi dari aspirasi rakyat yang murni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar